PEWARTA: BIJAK ONLINE
PORTAL MINANG – Malang benar nasib Etri Kartika Chandra (28 tahun), warga Parak Laweh, Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat ini. Niat awalnya hanya ingin mencabut giginya yang bermasalah, tapi nasib berkata lain. Entah karena malpraktik (kelalaian/kesalahan dokter-red), atau resiko medis yang tidak terdeteksi, lelaki ganteng itu kini terbaring dengan kondisi lumpuh dan hilang ingatan di Rumah Sakit (RS) Semen Padang sejak sembilan bulan lalu.
Tak banyak informasi yang didapat bagaimana awal kejadian naas yang menimpa Etri Kartika Chandra di RS Semen Padang. Orang tuanya (Ibu-nya-red) tak mau membuka diri dengan pertanyaan tabloidbijak.com. Sepertinya keluarga pasien korban dugaan malpraktik ini takut dengan perjanjian yang telah disepakati dengan pihak rumah sakit.
Dari informasi yang terhimpun dan pantauan di lapangan, pasien Etri dirawat di kamar 422 lantai 4 rumah sakit milik PT Semen Padang itu sejak sembilan bulan lalu. Kondisinya tidak bisa berduduk, apalagi berdiri, dan selalu dipasangi pempers. Selain lumpuh, pasien Etri juga hilang ingatan. Sehari-hari pasien Etri dijaga 24 jam oleh perawat khusus. Malam hari ada isteri atau ibunya menungguinya.
Pasien Etri dirawat di kamar ber-AC serta dilengkapi dengan TV dan tempat tidur penunggu. Selain itu juga ada kamar mandi khusus dan kursi plus meja tamu. Dari fasilitas yang ada, perawatan pasien Etri bisa dikatakan lumayan bagus. Dari informasi pihak rumah sakit, kamar seperti itu sewanya Rp500 ribu perhari, di luar biaya obat dan jasa dokter.
Direktur Utama RS Semen Padang, dr. Abdi Setia Putera yang dikonfirmasi di kantornya, Senin (3/4) mengatakan, kasus yang menimpa pasien Etri adalah resiko medis yang tidak terdeteksi. “Itu bukan malpraktik,” katanya. “Karena, dari awal penanganannya sudah sesuai SOP (standar operasi prosedur) medis,” tambahnya. “Itu sudah dibahas oleh komite medik dan persatuan dokter anestesi, termasuk tim hukum rumah sakit,” tambahnya lagi.
Dijelaskan Abdi, pasien Etri mengalami Bronchospasme (penyempitan saluran pernafasan-red) ketika dibius untuk dioperasi (operasi gigi-red). “Oksigen ke otak terhenti, dan akibatnya sistem syaraf otak jadi rusak,” jelasnya. “Tapi kami telah berupaya maksimal mengobatinya,” tambahnya. “Dan, sebelum operasi, keluarga pasien juga sudah kami jelaskan resiko-resiko yang bisa terjadi pada waktu dan pasca operasi, dan keluarga pasien memahami dan menyetujuinya,” tambahnya lagi.
Diakui Abdi, pada waktunya pasien Etri akan diserahkan kepada keluarganya. “Kini kondisi pasien, secara pisik sudah tidak masalah. Tapi, pemulihan kerusakan sistem syaraf memang butuh waktu yang lama,” jelasnya. “Karena itu, terkait biaya pengobatan lanjutan, santunan dan lainnya, akan kami rundingkan dengan pihak keluarga pasien,” jelasnya. “Semua ini adalah bentuk tanggungjawab moral rumah sakit kepada pasien,” tegasnya.
Banyak pihak berharap supaya Dinas Kesehatan Kota Padang dan Provinsi Sumbar membentuk tim asesmen independen, untuk menilai apakah kasus yang menimpa pasien Etri ini malpraktik, atau resiko medis? Malpraktik atau resiko medis, pihak rumah sakit diminta bertanggungjawab membiayai pengobatan lanjutan pasien, serta biaya hidup keluarganya dan biaya pendidikan anaknya. NY Kampai