HARI ini, Senen, 23 Januari merupakan hari yang bersejarah atau hari yang berbahagia bagi pengurus Wartawan Indonesia (PWI) Sumatera Barat. Kenapa? Karena hari ini, Heranof dan kabinetnya dilantik, oleh pengurus PWI Pusat. Yang hebatnya, acaranya pun dihadiri Gubernur Sumbar Prof Dr H Irwan Prayitno PSi Mc, serta beberapa pejabat kepala daerah se-Sumatera Barat.
Lantas ada pejabat yang bertanya kepada saya kenapa ndak ikut menghadiri pelantikan PWI Sumbar tersebut. Spontan saya jawab;”Tak diundang,”
Kemudian sang pejabat tadi balik bertanya;”Apa tidak masuk dalam struktur kepengurusan PWI Sumbar ya?
Saya jawab;”Tidak”.
“Kenapa?, kata pejabat itu bertanya kembali.
Saya jawab;”Saya hanya wartawan kroco dan tidak sehebat wartawan-wartawan yang dilantik jadi pengurus PWI Sumbar itu”.
“Ach masa iya,” kata pejabat itu lagi.
Dengan berseloroh saya jelaskan kepada pejabat tadi, bahwa wartawan-wartawan yang masuk dipengurusan PWI Sumbar itu, wartawan yang hebat-hebat dan punya reputasi internasional dan nasional.
Contohnya, bisa jadi wartawan yang duduk dipengurusan PWI itu pernah menjadi timses Donald Trum, Barak Obama atau Hilary Clinton. Bisa jadi juga wartawan yang bisa masuk dipengurusan PWI itu, punya Piagam Penghargaan dari PBB, Uni Erofa, menimal Piagam dari Tingkok alias RRC atas keberhasilan yang bersangkutan meliput berita tentang perdamaian dunia, serta kepedulian terhadap HAM.
Bisa jadi juga, ada diantara pengurus PWI itu yang pernah meliput perang Teluk, meliput HAM di Nyanmar atau Rohingnya. Bahkan, mungkin ada juga diantara mereka yang ikut dengan Pasukan Garuda RI dengan misi perdamaian di berbagai negara. Atau pergi ke Turki untuk meliput kudeta milter yang gagal terhadap Erdogan.
Jadi, untuk bisa mejadi pengurus PWI itu tidak semudah membalik telapak tangan, tapi harus jelas rekam jejak dan prestasi dunia. Begitu juga dengan media tempat si wartawan bekerja. Maksudnya, media tempat mereka bekerja, kalau cetak oplahnya 500.000 (lima ratus ribu) perhari. Kalau mereka di media online harus seperti Detik.com yang selalu berada diranging lima besar dunia. Tegasnya, hanya wartawan hebat sejagatlah yang bisa jadi pengurus PWI.
Masih dengan berseloroh, saya sebutkan:”Teman saya Novermal Yuska, juga tak masuk dalam kepenguruan PWI Sumbar.”
“Kenapa?,” tanya pejabat itu lagi.
Saya jelaskan, kalau masalah Novermal Yuska, katanya, ada pihak-pihak dari Timses IP-NA yang melarang Komisaris PT Grafika ini masuk dalam kepengurusan. Sudah itu, masih kata Novemal, figur yang didukungnya waktu proses pemilihan ketua PWI Sumbar kalah. Kemudian, ada juga yang alergi dengan Novermal Yuska yang merupakan orang dekat gubernur dan wakil gubernur.
“Ach masa iya,” kata pejabat itu lagi.
Saya jawab;”Kalau yang tahu sebenarnya, tentu hanya tim formatur yang menyusun pengurus PWI Sumbar itu dan sudah itu ya Allah, he he he he.”
Dialog pun berlanjut dan kemudian saya jelas secara logika tentang pengetahuan saya tehadap PWI Sumbar.
Setahu saya, dari dulu PWI Sumbar itu, masih banyak juga yang tidak jadi wartawan di berbagai media, alias wartawan yang putus bagaikan layang-layang. Tapi, ya itulah fakta dan fenomenanya.
Kalau menurut saya, PWI Sumbar itu bagaikan LSM yang punya gengsi lebih dari LSM biasa. Maklum di PWI itu masih ada juga wartawan yang bekerja di media cetak harian, seperti Harian Singgalang, Haluan dan Padang Ekpres, serta Pos Merto dan Metro Andalas.
Selanjutnya, setiap tahunnya pengurus PWI Sumbar itu pergi jalan-jalan keluar daerah untuk menghadiri Hari Pers Nasional (HPN). Dananya, ya dari pihak ketiga, seperti Bank Nagari, PT Semen Padang dan APBD Pemprov Sumbar serta bantuan dari seluruh kepala daerah tingkat dua lainnya.
Begitu juga dengan acara SIWO PWI, yakni Porwanas. Yang bisa pergi hanya pengurus PWI Sumbar dan wartawan yang ikut memperkuat PWI Sumbar diberbagai cabang olahraga. Masalah dananya, ya sama dengan PWI Sumbar tadi, yang bahasa kasarnya;”Ngemis dengan dalih minta bantuan alias sumbangan.”
Perlu juga saya sampaikan, bahwa PWI Sumbar itu hanya tempat para wartawan berkumpul dan tak punya kekuatan redaksional. Maksudnya, PWI tak akan bisa dan mampu untuk melarang sebuah berita. Kenapa? Karena masalah berita tanggungjawab pemimpin redaksi dan pemilik media.
Kesimpulannya, bagi saya PWI Sumbar tak lebih baik dari LSM atau paguyuban. Kemudian, di PWI itu ada klarifikasi keanggotaan, seperti ada istilah calon anggota, muda dan biasa. Status keanggotaan tersebut melalui proses ujian. Jadi jangan dianggap semua wartawan anggota PWI, karena ada AJI yang resmi menjadi anggota Dewan Pers.
Saya sendiri telah menjadi anggota biasa di PWI sejak 1994 dan ikut Uji Kopetensi Wartawan (UKW) di Padang, 2011 dengan status Wartawan Utama. Sejak jadi anggota PWI 1991, saya tak pernah mau pindah keorganisasi wartawan lainnya yang menjamur di awal Era Reformasi. Saya biarlah jadi anggoat PWI saja sampai mati.
Lantas kenapa tidak jadi pengurus PWI? Jawabannya, karena saya hanya wartawan kroco dan tidak hebat se jagat. Ha ha ha ha ha. (Penulis wartawan tabloidbijak dan padangpos.com)
Lantas kenapa tidak jadi pengurus PWI? Jawabannya, karena saya hanya wartawan kroco dan tidak hebat se jagat. Ha ha ha ha ha. (Penulis wartawan tabloidbijak dan padangpos.com)