Mana Yang Disebut Tubei? Pemkab Lebong Sendiri Malah Belum Memastikannya

PEWARTA : YOFING DT 
SENIN 5 MARET 2018 

PORTAL LEBONG – Sebagaimana termaktub di dalam UU nomor 39 Tahun 2003 tentang Pembentukan Ibukota Kabupaten Lebong dan Kabupaten Kepahiang disebutkan, Ibukota Kabupaten Lebong berkedudukan di Tubei. Lantas mana yang disebut Tubei itu?
Sejak terbentuk hingga sekarang pihak pemerintah daerah Lebong sendiri malah belum mengetahui atau menetapkan batas wilayah ibukota kabupaten yang telah berusia 14 tahun tersebut. Bahkan masih menjadi pertanyaan berbagai pihak.
Guna mendapatkan kejelasan dan menetapkan batas-batas wilayah ibukota kabupaten dimaksud, pemerintah daerah Lebong pada Senin (5/3) gelar rapat membahas letak ibukota kabupaten yang selama ini belum ditentukan.
Rapat yang dipimpin oleh Plt. Asisten I Jafri S.sos hari itu, Bupati Lebong H. Rosjonsyah, didampingi Sekdakab Lebong mengakui, dirinya juga bingung, mana yang dikatakan Tubei itu, atau dimana letak batas wilayahnya.
“Sedangkan pada pasal 8, UU nomor 39 tahun 2003 disebutkan ibukota Kabupaten Lebong berkedudukan di Tubei. Lalu dari mana kemana serta batas wilayahnya dimana, itu kita sendiri malah belum tahu,” beber Bupati.
Dalam rapat yang dihadiri pula oleh Kabag Hukum, Camat beserta segenap aparatur desa sekecamatan Plabai dan Kecamatan Lebong Atas itu disepakati, akan diadakan Perda perubahan.
“Pihak pemerintah daerah bersama dengan DPRD akan menentukan titik nol. Agar kedepa kita dapat memastikan batas wilayah Tubei itu dimana. Untuk itu kita harapkan jangan ada perdebatan lagi mengenai nama yang telah ditetapkan melalui Undang-undang ini,” himbau Bupati.
Namun hingga dipenghujung rapat, Plt.Asisten I Jafri yang menerima masukan dari sejumlah Kepala Desa serta tokoh masyarakat belum dapat mengambil kesimpulan.
“Hasil dari rapat ini perlu kita bahas kembali dengan pihak DPRD tentang perlunya ada perda perubahan. Dan untuk hari ini kita hanya sebatas menceritakan bahwa nama Tubei ini belum bisa dipastikan,” terang Jafri.
Sementara itu, ketua RW 2 kelurahan Tanjung Agung, Iskandar menyampaikan keluhannya. Dirinya merasa iri dengan aparatur desa yang diberikan anggaran sendiri guna membangun desanya masing-masing.
“Kelurahan tidak ada anggaran itu, jika ada yang akan dibangun terlebih dahulu membuat profosal. Disamping itu, insentif kami tidak sebanding dengan para perangkat desa. ketua RW hanya Rp 200 Ribu, sedangkan ketua RT Rp 150 Ribu dan ketua Kutai Rp 100 Ribu,” beber Iskandar.
Jika boleh memilih kata Iskandar, ia lebih baik menjadi perangkat desa saja ketimabng menjadi perangkat kelurahan. Disamping itu, kata dia, Kota Agung sebenarnya belum layak untuk dijadikan kelurahan, hanya lantaran berada di tengah ibukota kabupaten saja.

Editor : Uj
banner 728x90

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *