Benar atau tidak, berikut beberapa pandangan dan pendapat yang berhasil dihimpun.
Antropolog dari Universitas Alberta, Kanada, Gregory Forth menuliskan rangkuman kesaksian-kesaksian terkait keberadaan hominid di Indonesia dalam buku ‘Images of The Wildman in Southeast Asia: Anthropological Prespective’.
Sosok ‘orang pendek’ atau ‘uhang pandak’ dari Bengkulu dan Sumatera Selatan menjadi bahasan sejak zaman kolonial Belanda dulu. Orang pendek disebut dengan bahasa lokal yang berbeda satu sama lain di sepanjang Sumatera.
Dituliskannya, penuturan orang pendek dari penduduk Sumatera umumnya dibumbui dengan hal-hal berbau fantasi, misalnya punya kaki terbalik. Namun penuturan dari orang Barat biasanya dihubung-hubungkan dengan pandangan populer soal evolusi, bahwa orang pendek adalah ‘missing link’ dari proses evolusi, yakni perubahan dari kera ke manusia moderen.
Seorang Inggris yang bekerja untuk VOC, William Marsden, menuliskan kesaksiannya. Pada 1770 di distrik Labun, Bengkulu, dia menyaksikan makhluk bernama ‘gugu’. Makhluk ini adalah penghuni hutan yang sangat langka. Gugu punya karakter menjauhi interaksi dengan masyarakat umum.
Mitos masyarakat lokal Labun Bengkulu juga memuat cerita gugu. Dikisahkan, seorang gugu pria kawin dengan perempuan lokal (manusia pada umumnya). Keturunan pertama mereka memang punya rambut lebih banyak dibanding manusia umum. Namun lama-kelamaan, anak turun mereka menjadi sulit dibedakan. Namun Marsden skeptis terhadap cerita itu.
“Barangkali ini punya dasar kebenaran, namun mengandung hal yang dilebih-lebihkan,” kata Marsden sebagaimana dikutip Forth.
Dua orang bernama Schlegel dan Muller juga punya kesaksian pada 1839. Suatu hari di Indrapura (pantai sebelah barat Gunung Kerinci) mereka melihat ‘orang liar yang pendek’. Makhluk itu dikatakan tak punya kemampuan berbicara.
Ada pula, De Santy menceritakan pengalamannya saat berada di Bajuasin (Banyuasin) Sumatera Selatan pada 1925. Dia memperoleh keterangan dari masyarakat setempat tentang adanya makhluk dengan sebutan ‘sedapak’. Tubuh sedapak ini dipenuhi bulu.
Suatu hari, nelayan menemukan mayat perempuan sedapak. Umurnya diperkirakan 10 hingga 12 tahun. Lengan bawahnya lebih panjang ketimbang lengan atasnya. Jari tengah lebih panjang. Tumitnya lebih lancip.
Secara umum, kesaksian-kesaksian itu memang berasal dari masa lalu. Namun bukan berarti makhluk-makhluk itu sudah pasti hanya cerita bohong belaka.
“Ini tak bisa dikonstruksikan semata-mata sebagai hal yang imajiner atau makhluk mitologis secara keseluruhan,” kata Forth.
Dari catatan masa silam itu, Forth menyimpulkan tinggi spesies orang-orang pendek ini pada umumnya setara dengan anak usia 12 atau 13 tahun. Maksimal tingginya sekitar 1,5 meter.
Banyak kesaksian tubuh orang pendek dipenuhi bulu. Warna kulit mereka adalah cokelat-merah jambu. Postur tubuh mereka tegap, berjalan di atas dua kaki. Makhluk ini lebih mirip manusia ketimbang kera. Mereka bisa berlari luar biasa kencang.
Mereka punya alis tebal, hidung pesek, tak punya lekuk di atas bibir. Gigi taringnya relatif panjang. Meski begitu, kesaksian menyebut wajah mereka mirip manusia.
Suara mereka mirip kera. Namun ketika menangis atau berteriak, suara mereka mirip manusia. Mereka hidup di hutan hingga di gua. Mereka tercatat sebagai makhluk pemalu, namun kadang sering melempari batu ke arah pekerja Melayu setempat.
Cukup sudah keterangan panjang soal makhluk ini. Jadi, mereka ini monyet atau orang?
“Sebagian orang Sumatera menganggap orang pendek sebagai manusia atau manusia pendek. Sebagian lagi menganggap mereka ini mirip kera, atau di antara kera dan manusia, semacam kera yang berjalan dengan dua kaki. Orang Rejang dari Bengkulu mendeskripsikan orang pendek sebagai keturunan monyet atau kera. Ada cerita, seorang wanita muda ditempatkan di kandang monyet, dan dikutuk karena berbuat salah,” kata Forth.
Cerita dari Walter M Gibson (1856) lebih unik lagi. Petualang Inggris-Amerika ini ada di Palembang pada pertengahan Abad 19. Bangsawan Melayu dia sebutkan telah memerintahkan ‘orang Kubu’ yang berambut untuk bekerja. Makhluk ini merespons perintah tuannya dengan suara ‘yuh’. Makhluk ini hanya bisa berbicara satu suku kata.
Warna makhluk ini adalah cokelat tua, tingginya sama dengan pria yang punya tinggi sedang, tumbuh bulu yang terlihat lembut di sekujur tubuh, badannya tegap dan mampu mengangkat barang berat. Hidungnya tebal, mulutnya maju, bibirnya lebih tipis ketimbang orang Melayu pada umumnya, namun seperti tidak punya dagu yang besar. Dia menyebutnya sebagai ‘budak Kubu’.
Pada Mei, 1927, pekerja Belanda di Kerinci bernama AHW Cramer melaporkan telah melihat makhluk seperti manusia dari jarak 10 meter. Sosok itu bergerak sangat cepat, meninggalkan jejak kecil di tanah. Rekannya yang berada lebih dekat malah bisa melihat lebih jelas, sosok itu seperti pria kecil, telanjang, dan tanpa senjata, dengan rambut gondrong dan kulit hampir hitam.