Sumber : bola.kompas.com
Dengan mengenakan jas biru tua dan kopiah berwarna hitam di kepala, Ezra Walian berdiri gagah menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Mata saya tertuju pada kopiah yang menutup kepala bagian atas Ezra. Mengenakan kopiah mungkin pengalaman pertama bagi mantan penyerang Jong Ajax tersebut.
Namun, kopiah yang dikenakan Ezra sarat makna. Peci, sebutan lain dari kopiah, adalah “warisan” dari Presiden Soekarno.
Bung Karno ingin peci hitam yang sering dikenakannya sebagai identitas bangsa. Karena itu, foto Presiden dan Wakil Presiden kita yang berjenis kelamin pria selalu mengenakan kopiah.
“Namanya malahan berasal dari penakluk kita. Perkataan Belanda ‘pet’ berarti kopiah, ‘je’ maksudnya kecil. Perkataan itu sebenarnya ‘peje’,” kata Sukarno saat menjelaskan makna kopiahnya.
“Ayolah saudara-saudara, mari kita angkat kita punya kepala tinggi-tinggi dan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia merdeka,” tutur sang proklamator.
Kopiah itu “saksi” bagi Ezra resmi menjadi bagian dari Indonesia. Pemain kelahiran Amsterdam, Belanda tersebut resmi menjadi WNI setelah membacakan sumpah dan menandatangani naskah warga negara.
Proses yang berlangsung khusyuk tersebut menjadi momen bersejarah karena sudah ditunggu-tunggu sejak usianya masih menginjak 12 tahun.
Saat itu, Ezra tergugah ingin memperkuat tim nasional setelah Indonesia kalah dari Malaysia pada semifinal Piala AFF 2010.
“Sekali lagi, saya benar-benar senang dan bangga. Saya berharap bisa memberikan yang terbaik buat timnas dan negara ini,” tutur pemain yang berposisi sebagai penyerang itu.
Terwujudnya keinginan menjadi warga negara Indonesia membuka kesempatan Ezra untuk menggenapi cita-citanya yang lain untuk negara ini.
“Target saya sekarang yakni membawa timnas menjuarai SEA Games. Tentu saya ingin memberikan yang terbaik. Untuk membawa pulang medali emas ke Indonesia, saya ingin mencetak banyak gol,” kata Ezra.
Di dunia sepak bola international, Indonesia tak mampu berprestasi sejak meraih medali emas 1991.
Cinta Ezra harus jadi virus
Keinginan besar Ezra membuat sepak bola kembali disegani membuat saya tergugah. Dia yang lahir dan dibesarkan di Belanda, sangat mencintai bangsa ini.
Saya menganggap Ezra bisa saja memperkuat tim nasional Belanda. Terlebih, dia pernah memperkuat tim nasional Belanda dalam berbagai kategori umur seperti U-15, U-16 hingga U-18.
Bahkan, dia pernah membukukan rekor pribadi dengan mencetak lima gol dalam satu pertandingan saat tim nasional Belanda U-17 melawan San Marino. Saat itu, dia baru berumur 15 tahun, 11 bulan, dan 27 hari.
Segala kenangan dan pengalaman itu menjadi sumbu bagi Ezra untuk menyalakan pelita-pelita prestasi dengan seragam timnas Indonesia. Ibaratnya, Belanda yang menanam, Indonesia menuai buahnya.
Sebelum menikmati buah tersebut, kita terlebih dulu harus meresapi cinta Ezra terhadap negara ini. Ke-Indonesia-an Ezra harus menjadi virus yang disebarkan agar kita lebih Indonesia lagi. Bangga dan semakin mencintai Indonesia.
Sama halnya dengan Ezra, Stefano Lilipaly yang juga pemain naturalisasi sangat mencintai bangsa ini.
Besar dan lahir di Belanda, nasionalisme terhadap Indonesia sangat tinggi. Saya melihatnya bagaimana kerja keras dia membawa Indonesia mencoba berjuang untuk menjuarai Piala AFF pada 2016.
Namun, saat itu, Lilipaly dan kolega gagal mengangkat piala. Dia tidak terpuruk meratapi kegagalan itu. Dia malah membakar nasionalisme kita dengan pernyataan yang heroik.
Lewat akun Instagram-nya, dia menulis,”Saya mohon maaf kepada semuanya karena kami belum bisa membawa pulang piala itu.”
“Tetapi saya pikir piala itu tidak terlalu penting karena piala hanyalah sebuah simbol. Yang terpenting adalah cara kami berjuang. Kami semua bekerja sama demi negeri kita tercinta INDONESIA. Kami berhasil menyatukan seluruh masyarakat Indonesia bersama dan ini hanya terjadi di sepak bola dan saya sangat bangga akan hal tersebut.”
“Kita tidak butuh piala AFF dan semacamnya, yang kita butuhkan adalah kecintaan dan perjuangan sampai mati untuk membuat negeri lebih baik lagi dalam segala hal. Kita semua bersatu di sini dan kita semua berdiri bersama. Saya merasa sangat bangga menjadi orang Indonesia. Kita tunjukkan pada semua siapa kita (INDONESIA)!!! One day we will bring this Trophy Home.”
Menceritakan kecintaan Ezra Walian dan Lilipaly pada Indonesia membuat saya teringat dengan selebrasi trio Bali United. Yabes Roni, Miftahul Hamdi, dan Ricki Fajrin meampilkan potret keberagaman melalui perayaan gol saat Bali United menang 3-0 atas Borneo FC di Stadion Kapten I Wayan Dipta, Gianyar, Minggu (14/5/2017).
Seusai mencetak gol kedua pada menit ke-78, Yabes berlari ke sudut lapangan untuk merayakan golnya. Miftahul dan pemain lain juga tampak menghampiri Yabes untuk merayakan gol pemain asal Alor tersebut.
Yabes lalu berlutut sambil berdoa. Di samping Yabes, Miftahul dan Ricki Fajrin bersujud.
Selebrasi ketiga pemain tersebut mengundang reaksi positif dari netizen. Banyak yang memuji karena selebrasi tersebut perwujudan dari Bhineka Tunggal Ika menjadi semboyan Indonesia.
Cinta Ezra, Lilipaly, dan selebrasi keberagaman ala trio Bali United seharusnya sudah cukup menyadarkan kita untuk berhenti saling mencaci, menghina, dan menghujat antar sesama bangsa Indonesia. Kita harus tetap bersatu dan menghormati perbedaan.
Merenungkan pesan Soekarno
Presiden Joko Widodo pun telah berpesan agar gesekan-gesekan yang di dalam masyarakat untuk segera dihentikan.
“Karena kita ini adalah saudara. Jangan saling menjelekan. Karena kita ini adalah saudara. Jangan saling memfitnah. Karena kita ini adalah bersaudara. Jangan saling menolak,” kata Jokowi dalam sepenggal pidatonya, seusai menerima sejumlah tokoh lintas agama di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Selasa (16/5/2017).
Karena kita ini adalah saudara. Jangan kita saling mendemo. Habis energi kita untuk hal-hal yang tidak produktif seperti itu. Kita adalah saudara. Saudara sebangsa dan setanah air,” tuturnya lagi.
Presiden sadar betul bahwa pertikaian dan perpecahan memang tak akan membuat bangsa ini maju. Karena itu, hanya berselang dua hari, Jokowi kembali berujar untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak produktif.
Dalam pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Pengawasan Internal Pemerintah Tahun 2017 di Istana Negara, Kamis (18/5/017) siang, Jokowi mengatakan, dunia berubah sedemikian cepatnya akibat teknologi.
“Kita belum rampung belajar satu, sudah berubah ke yang lain. Inilah yang sering saya katakan, perubahan sangat cepat sekali karena teknologi,” tutur dia.
“Kita masih berkutat pada hal-hal yang tidak produktif. Urusan demo, urusan fitnah, urusan hujat menghujat yang tidak produktif. Kita selalu mengembangkan negative thinking kita kepada yang lain, selalu su’udzon kepada yang lain. Fitnah, kabar bohong. Apakah ini mau diterus-teruskan?” tegas dia.
Karena itu, mari hentikanlah pertikaian. Mari kembali saling menghormati dan mencintai sesama tanpa memandang suku, agama, dan ras.
Apalagi, Presiden Soekarno tegas menyatakan bahwa negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke.