PEWARTA : RUDHY M FADHEL
PORTAL LEBONG – Puluhan Siswa setingkat SMA/SMK sederajat di Kabupaten Lebong Provinsi Bengkulu terpaksa dikembalikan kepada orang tua mereka dan terpaksa harus Drop Out (DO) sebagai aiswa peserta sidik dari sejumlah satuan pendidikan setingkat SMA/SMK sederajat yang ada di Kabupaten Lebong. Pasalnya berdasarkan data dari salah satu Sekolah Menegah Atas (SMA) yang ada di wilayah Kecamatan Lebong selatan yakni SMAN 2 Lebong menyebutkan pihak managemen sekolah terpaksa harus memulangkan/mengembalikan lebih dari sepuluh aiswa kembali kepada orang tua dengan alasan terbanyak adalah karena menikah.
Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Kepala Sekolah Menegah Atas (SMA) Negeri 2 Lebong Iwan Saputra M.Pd yang berlokasi di Kelurahan Taba Anyar.
“Dalam tahun ajaran 2021–2022 ini kami terpaksa memulangkan/mengembalikan siswa peserta didik kami sebanyak belasan orang siswa. Sembilan diantaranya dengan alasan menikah,” aebut Iwan Saputra. dengan didampingi oleh Nur Fauzan di ruang kerjanya.
Diakui Iwan Saputra, tingginya angka kasus pernikahan dini yang terjadi dan melibatkan siswa peserta didiknya disebabkan berbagai faktor. Selain faktor ekonomi, faktor penyebab yang sangat mendasar adalah minimnya kesadaran dan pengetahuan para orang tua dan lingkungan terkait dampak buruk dari terjadinya pernikahan dini.
”Jika kita merujuk pada ketentuan yang ada, yakni Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 dengan perubahan ke Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 yang pada pokoknya merubah usia perkawinan anak-anak perempuan dari minimal 16 tahun menjadi minimal 19 tahun. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 14 Oktober 2019 di Jakarta. Dimana Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mulai berlaku setelah diundangkan oleh Plt. Menkumham Tjahjo Kumolo pada tanggal 15 Oktober 2019 di Jakarta,” imbuhnya.
Dalam Undang-Undang tersebut jelas dan terang benderang disebutkan bahwa, batas minimal umur perkawinan bagi wanita dipersamakan dengan batas minimal umur perkawinan bagi pria, yaitu 19 (sembilan belas) tahun. Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang perkawinan). Batas usia tersebut dinilai telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik sehingga tidak berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang sehat dan berkualitas.
Alasan dan pertimbangan UU Nomor 16 tahun 2019 terkait kenaikan batas umur yang lebih tinggi dari 16 (enam belas) tahun bagi wanita untuk kawin antara lain bahwa perkawinan pada usia anak menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak dan akan menyebabkan tidak terpenuhinya hak dasar anak seperti hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak sipil anak, hak kesehatan, hak pendidikan, dan hak sosial anak.
Sehingga lahirnya undang undang nomor 16 tahun 2019 tentang perkawinan diharapkan dengan perubahan usia tersebut akan mengakibatkan laju kelahiran yang lebih rendah dan menurunkan risiko kematian ibu dan anak. Selain itu juga dapat terpenuhinya hak-hak anak sehingga mengoptimalkan tumbuh kembang anak termasuk pendampingan orang tua serta memberikan akses anak terhadap pendidikan setinggi mungkin.
”Kedepannya kita berharap kepada pemerintah daerah dan leading sektor terkait untuk dapat lebih intensif melakukan sosialisasi ke tengah masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran terkait dampak buruknya pernikahan sini. Sepenuhnya kita menyadari bahwa dalam ketentuan Pasal 28B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dicantumkan setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah serta nNegara menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas pelindungan dari kekerasan dan diskriminasi,” lanjutnya.
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun, ketentuan tersebut memungkinkan terjadinya perkawinan dalam usia anak pada anak wanita.
”Kitapun harus memahami karena dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak didefinisikan, bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan,” ujarnya.
Perubahan usia anak perempuan telah melampaui batas usia anak menurut Undang-undang Perlindungan Anak, sehingga dalam hal ini, realita di masyarakat tidak berbanding lurus dengan nilai-nilai perubahan yang dimaksud yang ternyata agak rancu antara UU Nomor 16 tahun 2019 tentang Perkawinan dan UU Nomor 35 tahun tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Jo UU Nomor 11 tahun 2012 Tentang SPPA (Sistem Peradilan Pidana Anak).
Iwan Saputra berharap pihak-pihak terkait dapat dan bisa lebih memberikan perhatian terhadap kesadaran dan pengetahuan para orang tua dan masyarakat serta kehadiran pemerintah daerah dalam mencarikan solusi tingginya kasus pernikahan dini Khususnya yang melibatkan siswa peserta didik dengan pertimbangan anak adalah anak kita semua dan mereka aset masa depan daerah bangsa dan negara.