PEWARTA : RUDHY M FADHEL
PORTAL LEBONG – Masih tingginya kasus-kasus kekerasan terhadap anak dan Perempuan serta terjadinya pernikahan dini di Kabupaten Lebong mendapat sorotan dari pengamat dan Praktisi Anak. Sebagaimana pemberitaan di media masa baik cetak elektronik dan online yang terbit dan beredar di Kabupaten Lebong akhir-akhir ini diantaranya diduga terjadinya eksploitasi seksual terhadap anak di sebuah cafe (warung remang-remang) ilegal yang berlokasi di Kecamatan Lebong Tengah wilayah Hukum Polsek Lebong Tengah, Polres Lebong Polda Bengkulu yang hingga saat ini dimungkinkan masih berproses di Polres Lebong diantaranya :
Sementara baru-baru ini salah satu kepala sekolah menegah atas (SMA) akui terpaksa memulangkan dan menegembalikan belasan siswanya kepada orang tua masing-masing dikarenakan alasan menikah (pernikahan dini).
Menanggapi hal tersebut, Praktisi/Pengamat Anak Konsultan Program Advokasi pada Cahaya Perempuan WCC Bengkulu, Nurkholis Sastro kepada awak media Portalbengkulu.com menyampaikan bahwa sudah seharusnya Pemerintah Kabupaten Lebong membuat dan memutuskan suatu kondisi darurat perkawinan usia anak.
Berdasar data yang dimiliki, di dalam tahun 2021-2022 rata-rata perdesa di Kabupaten Lebong telah terjadi 2 kasus perkawinan usia anak. Ada yang melalui dispensasi dari Pengadilan Anak (PA) setempat ada juga yang tidak melalui proses hukum dengan mendapatkan dispensasi dari pengadilan (menikah secara agama/tidak tercatat sesuai undang-undang perkawinan).
Menurut Nurkholis, kenapa “harus darurat perkawianan usia anak”; Perkawinan usia anak salah satu faktor utama akan penyumbang ke angka putus sekolah (secara langsung) terhadap anak dan berikutnya berkontribusi AKI, AKB, Stunting (organ reproduksi si ibu belum siap/matang. Si ibu karena masih masa perkembangan maka akan terjadi rebutan gizi dengan bayi di dalam kandungannya) KDRT, perceraian pasangan muda dan yang pada akhirnya akan menjadi penyumbang angka kemiskinan kultural. Sebegitu pentingnya kampanye pencegahan perkawinan usia anak dilakukan di Kabupaten Lebong ini.
Kalau kasusnya anak yang lahir sudah stunting itu susah untuk ditangani dan besar kemungkinan akan menjadi problem sosial di tengah masyarakat. Dampaknya pada pertumbuhan, kecerdasan dan kerentanan risiko kesakitan hingga di usia lansia.
Jika hal ini tidak ditangani secara politis Kabupaten Lebong akan masuk daftar penyumbang angka perkawianan anak di tingkat provinsi dan nasional. Dampak kedepan penangan stunting, gizi buruk, kasus KDRT dan kemiskinan akan jadi beban pembangunan daerah sepanjang tahun. Secara individu/sosial tentu berdampak pelebelan (cap) stikma yang akan dilekatkan bila anak kurang gizi, korban penyerangan seksual hingga sampai pada perceraian (menjanda).
”Sudah saatnya Pemerintah Kabupaten Lebong berpikir serius, merumuskan kebijakan dan rencana aksi daerah yang paling mungkin dilakukan oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD), kelompok masyarakat atau pihak-pihak lainnya,” tutup Nurkholis Sastro.